Tuesday 1 September 2009

asal mula simulasi


II Jean Baudrillard Selayang Pandang dan Teori Simulasi
2. 1 Sepintas Mengenai Jean Baudrillard
Meskipun Baudrillard lebih suka menganggap dirinya tidak memiliki latar belakang, tetapi dapat dipastikan bahwa ia lahir di Reims perancis pada tahun 1929. Setelah menyelesaikan studi filsafat sosial, ia kemudian bergabung bersama Roland Barthes di Ecoles des Hautes Etudes sebagai dosen filsafat. Ia meminati Marxisme walaupun kemudian ia meninggalkan teori Marx. Nama Jean Baudrillard mulai dikenal luas dalam diskursus filsafat kontemporer ketika karyanya “the Mirror of Production” (1975) diterbitkan. Dalam karyanya ini Baudrillard mencoba menyerang secara sistematik prinsip Marxisme klasik. Menurut Baudrillard, keadaan ekonomi masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh nilai guna dan nilai tukar sebagaimana Marx, tetapi lebih dipengaruhi oleh nilai tanda. Nilai tanda memainkan peran penting dari proses ekonomi.
Baudrillard adalah seorang filsuf dan sering dijuluki sebagai nabi postmodern. Tulisan-tulisannya memiliki gaya yang khas dan orisinal, deklaratif, hiperbolik, provokatif, namun tajam dan cerdas. Tulisan-tulisan Baudrillard seperti bom yang meledakkan suasana. Ia menyajikan cara pandang baru terhadap realitas sosial postmodern. Dengan gaya yang kontoversial, sangat sulit untuk menempatkan posisi sebenarnya Baudrillard, bahkan George Ritzer menulis “.... sangat sulit memaksakan Baudrillard untuk memberitahukan pendapatnya. Apakah teoritisi postmodernis? Sosiolog? Penulis fiksi sains? Pujangga? Baudrillard menempati semuanya, dan juga tidak menempatinya. Betapa postmodernnya dia!” Ia wafat dalam usia 77 tahun akibat penyakit kanker pada tanggal 7 Maret 2007 di Paris.

2.2 Teori Simulasi Jean Baudrillard
Gagasan simulasi Baudrillard tidak bisa terlepas dari terminologi simulacrum (plural: simulacra) yang berarti tanda, citra, model. Menurut Baudrillard, simulasi merupakan tahap terakhir dari perkembangan simulakrum (tanda). Simulasi adalah citra tanpa referensi: sebuah bentuk simulakrum (tanda) yang murni (pure simulacrum). Dalam konteks ini, simulasi merupakan suatu proses penciptaan model-model realitas tanpa asal-usul atau referensi pada realitas sehingga manusia menganggap yang imajiner sebagai yang nyata dan asli.
Dalam simulasi, referensi antara tanda dengan realitas di dunia nyata tidak ada. Simulasi adalah realitas kedua (second reality) yang bereferensi pada diri sendiri (simulacrum of simulacrum). Simulasi tidak mempunyai relasi langsung dengan dunia realitas. Bahasa atau tanda-tanda dalam simulasi seakan-akan (as if) menjadi realitas yang sesungguhnya, padahal ia adalah realitas buatan (artificial reality). Realitas semacam ini diciptakan oleh simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realitas ini tampak (dipercaya) sama nyata bahkan lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Simulasi menciptakan realitas lain di luar realitas faktual dan ini disebut Baudrillard sebagai hiperrealitas . Dalam pengertian ini, simulasi menciptakan realitas baru atau tepatnya realitas imajiner yang dianggap riil. Faktor yang paling berperanan dalam penciptaan realitas baru (hiperrealitas) ini adalah media massa dan teknologi informasi lain seperti internet, video kamera, hp, dll. Hiperrealitas menjadi sebuah kondisi di mana khayalan menggantikan realitas nyata itu sendiri dan menurut baudrillard inilah potret hidup manusia pada masa posmodern.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa simulasi berbeda dengan representasi. Representasi mengandaikan adanya relasi tak terpisahkan (unseparated relation) antara tanda dan realitas yang menjadi rujukannya. Representasi adalah simbol atau tanda yang berfungsi sebagai presentasi dari sebuah realitas. Representasi mempresentasikan kembali realitas dalam rupa yang lain, sedangkan simulasi mempresentasikan rupa yang lain sebagai realitas. Dalam representasi sebuah objek berfungsi sebagai tanda (sign) sedangkan dalam simulasi tanda berfungsi sebagai objek. Dalam simulasi, tidak ada lagi penceritaan kembali sebuah realitas. Simulasi membentuk kamuflase realitas untuk dijadikan sebagai yang riil-faktual. Simulasi antirepresentasi.

III. Simulasi dan Sejarah: Sebuah Tinjauan Kritis
Dalam zaman posmodern ini, simulasi tanda telah menjadi realitas plural dan menyeluruh. Simulasi telah merasuki setiap domain kehidupan manusia seperti politik, sosial, sejarah, ekonomi, agama dan aspek-aspek lainnya. Dalam zaman simulasi ini, substansi, realitas atau makna terdalam dari semua aspek kehidupan manusia perlahan musnah diganti realitas bentukan simulasi. Yang tersisa adalah realitas, makna atau substansi yang bersifat simulatif: tampilan luar yang licin, memukau dan penuh daya pikat sementara kandungan di dalamnya fiktif, imajiner dan rekayasa belaka.
Baudrillard sendiri menganggap bahwa dengan teori simulasinya, sejarah telah mencapai akhir hayatnya. Sejarah tidak lagi mengandung makna. Sejarah telah berhenti mengacu pada sesuatu, entahkan sesuatu yang diacu itu merupakan peristiwa masa lampau, ruang sosial atau yang nyata. Sejarah tidak lagi kredibel (dapat dipercayai) karena materinya merupakan sebuah simulasi. Dalam simulasi tidak ada lagi penceritaan kembali realitas. Simulasi menyingkirkan nostalgia akan pengalaman masa lampau. Yang ada dalam simulasi adalah penghadiran kisah baru. Hal ini dinamakan hiperrealitas karena melampaui batasan realitas.
Sejarah mengandung dalam dirinya “krisis representasi” karena sajian kisah naratif sejarah tidak lagi mempresentasikan kembali peristiwa masa lampau tetapi merupakan “dongeng” baru yang bercerita tentang pengalaman masa lampau. Dosa sejarah dalam bingkai teori simulasi ini adalah penipuan berkedok kebenaran yang ditudungi oleh kepentingan tertentu. Karena itu, mempercayai sejarah berarti sebuah kebodohan. Baudrillard sendiri mengatakan bahwa peristiwa bersejarah tidak pernah terjadi. Kisah sejarah sebenarnya hanya merupakan sebuah lelucon dan drama hasil kreativitas media massa. Ringkasnya, Baudrillard menyangkal adanya sejarah di era postmodern karena menurutnya penceritaan dan pencitraan sejarah lebih didominir oleh simulasi media dan otoritas yang berpengaruh.
Akan tetapi jika diterima bahwa sejarah adalah simulasi kisah masa lampau maka sebenarnya kita terjebak dalam penalaran kontradiktif. Teori simulasi bukanlah bentuk penjelasan terhadap sejarah karena dalam dirinya teori simulasi menegasikan sejarah. Simulasi menyingkirkan sejarah dengan berpendirian bahwa simulasi bukanlah rekaman kisah masa lampau sementara sejarah adalah rekaman kisah masa lampau. Teori simulasi melenyapkan sejarah karena teori ini menciptakan sebuah cerita baru atas realitas sementara sejarah adalah penceritaan kembali realitas. Dengan ini, menjadi sulit untuk memikirkan kesepadanan antara keduanya. Tidak ada simulasi sejarah: yang ada adalah atau sejarah atau simulasi.
Mengatakan tidak ada simulasi sejarah: yang ada adalah atau sejarah atau simulasi tidak berarti bahwa sejarah terbebas dari unsur simulatif. Sejarah dapat saja disimulasi. Kisah sejarah bisa saja dimanipulasi atau direkayasa. Akan tetapi sejarah itu bukanlah sebuah simulasi. Sejarah rentan terhadap simulasi tidak berarti sejarah adalah rentetan simulasi. Karena itu, hemat saya tidak setiap kisah sejarah merupakan hasil simulasi. Sejarah bukanlah dongeng baru atas nama masa lampau walaupun terbuka kemungkinan untuk itu. Oleh sebab itu anggapan bahwa mempercayai sejarah merupakan sebuah kebodohan adalah juga sebuah kebodohan. Mengatakan bahwa kisah sejarah tidak pernah terjadi dengan dugaan sejarah sebagai sebuah lelucon adalah sebuah lelucon. Sejarah adalah rekaman kisah yang pernah terjadi. Mempercayai rekaman ini memungkinkan adanya pembelajaran terhadap sejarah. Percaya pada sejarah memungkinkan kita dapat mengambil sikap untuk berguru padanya. Dengan itu sejarah menjadi master of life.
Soal adanya kesulitan pengabstaksian pengalaman aktual masa kini untuk dijadikan materi sejarah, sebenarnya merupakan konsekuensi dari adanya kisah simulatif sejarah itu sendiri. Artinya, kesulitan itu menjadi mungkin jika realitas, peristiwa dan pengalaman akan realitas disimulasi oleh karena kepentingan tertentu. Kita akan menghadapi kesulitan untuk mengetahui secara persis kisah sejarah dalam suatu dekade terakhir misalnya, ketika tegangan antara kisah tersebut dengan kepentingan masa kini segelintir kelompok masih ada. Dengan ini saya memahami alasan di balik ketidakpercayaan Baudrillard akan adanya perang teluk 1991. Perang teluk itu bukannya tidak ada, tetapi bahwa perang teluk itu telah disimulasi sedemikian rupa oleh media massa sehingga menampilkan realitas yang lain dari realitas medan pertempuran. Alasan serupa dapat dipakai untuk mencermati narasi sejarah G-30 S/PKI versi Orde Baru. Kisah pembunuhan para pahlawan revolusi tahun 1965 itu bukannya tidak ada tetapi telah disimulasi sedemikian rupa oleh pemerintahan ORBA guna menstabilkan posisi politisnya. Walaupun ini hanya sekedar contoh kasuistik, tetapi contoh ini menjelaskan kesulitan pengabstraksian pengalaman masa kini untuk dijadikan materi sejarah. Alasannya adalah karena pengabstraksian tersebut bisa jadi tidak relevan dengan kenyataan oleh adanya simulasi realitas dari otoritas tertentu yang merasa kepentingannya terganggu jika realitas lapangan ditampilkan apa adanya secara jujur.
info terkait :
sejarah simulasi

No comments:

Post a Comment